Sunday, February 12, 2017

Jangan Diet di Semarang! (Part 1)

Holaaa!!!! I'm back! *lalu ditimpukin se-RT karena sering banget mengucap kata ini, juga karena sering banget mangkir dari blog ini* Okeh! Setelah penulisan blog ini mangkrak sejuta tahun, akhirnya saya berencana dalam hati untuk kembali melanjutkan blog ini sebagai diary atau jurnal traveling saya. Karena selama jalan-jalan, saya sering banget foto, baik itu pake kamera pocket maupun HP. Tapi ternyata ga banyak yang saya post juga sih, di instagram. Entah itu lupa, ataupun kurang kece-kece amat buat feed saya *cihh gaya.. Padahal mah feeds gue juga ga bagus-bagus amat hahaha* Maka karena itu, daripada saya merasa rugi, saya putuskan untuk memasukkan foto-foto jepretan saya tersebut ke blog ini saja, deh.

So, di pertengahan tahun 2016 lalu tepatnya 13-17 Agustus 2016 saya mengadakan perjalanan ke Semarang dan Solo bersama seorang rekan kerja, teman sekaligus sahabat saya, Ocha. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya sih, kami traveling berdua. Tahun-tahun lalu, kami juga pernah Malaysia, Singapore, Bandung, hanya berdua. Well, saya sih, lebih suka traveling dengan jumlah peserta yang kecil. Sebelum dengan Ocha, saya pernah traveling berdua dengan sahabat saya waktu masih ngampus, Yuan, ke beberapa tempat seperti Jogja-Bali, Singapore dan Bangkok. Dari sanalah, saya meyakinkan diri bahwa lebih enak traveling dalam jumlah kecil, dibandingkan jumlah besar, kecuali bersama keluarga. Mungkin, di postingan selanjutnya, saya akan menulis plus minus traveling jumlah kecil. Ha!

Dimulai dengan perjalanan hari pertama di 13 Agustus 2016. Kami berangkat menggunakan Lion Air dari Jakarta ke Semarang. Yang ini saya agak egois sih, karena pengin lebih cepat sampai dan cepat melakukan perjalanan. Soalnya, Ocha pengin naik kereta, katanya sih, lebih seru. Tapi, maapkan keegoisan aku yang kurang bisa menikmati definisi seru berkereta. Hehehe...

Bukan Lion Air namanya kalau ga delay yes. Grr! Dengan delay sekitar 1-2 jam *lupak!*, kami baru sampai Semarang sekitar jam makan siang. Nahhh! Entah perasaan gue aja atau bukan, gue merasa diketok! Sebagai turis yang kurang paham, kami memutuskan untuk naik taxi untuk menuju Hotel yaitu Ibis Budget Semarang di Jl. Kapten Pierre Tendean No. 21. Pikiran gue, area bandara Semarang mungkin segede Cengkareng yang bisa dijadiin lapangan marathon. Semacem pengkor kan ye, kalau keluar area bandara kalau ga naik taxi. Mana bawa-bawa koper lagi, nih. Lalu, kami pun memesan taxi di loket, bayar langsung sehingga nanti tinggal tancap gas saja. Ga bayar ke abangnya lagi. Pas di loket, katanya harganya 50 rebu. Semacem shock sih. Emang hotel gue jauh banget ya? Apa gue salah pilih hotel ya, pilihnya yang di ujung berung sono?

Ahh... Berangkat dulu aja, lha. Nggak sampe 20 menit, gue uda nyampe boy! Buset! Kayaknya mah, ini ga sampe 50 rebu ya, Mba! Pikir gue sambil mengumpat dalam hati karena ke-Tiongkok-an gue keluar. Sudahlah. Marah-marah juga ga bikin duit gue dikembaliin sama pak sopirnya, wong gue bayarnya bukan ke doi. Lagipula, perut ini juga sudah lapar.

Kelar check in, kami langsung cari makan yang sejalan dengan arah kami ke Lawang Sewu. Menemukan Bakmi Jowo Pak Doel Noemani di Jl. Pemuda No.107. Terlihat tempat makannya belum komersil karena harganya terjangkau banget, men! Aku pesen mie godog, Ocha pesen nasi godog. Ditambah sate ayam, kalau nggak salah, harganya sekitar Rp.20rb-an berdua. Buset! Harga yang nggak saya dapatkan kalau di ibukota *caelah*

Ini dia penghangat perutnya!
Perut kenyang, siap jalan! Melihat kami masih disapa matahari, berjalanlah kami ke Lawang Sewu. Kan, males ya kalau ke sononya gelap-gelapan. zzzzz. Tiket masuknya Rp.10 ribu per orang. Seperti biasa, ada tawaran dari guide setempat untuk menemani. Karena saya terbiasa mengeksplor sendiri, maka terpaksa saya tolak. Keliling-keliling, saya menemukan banyak hal. Mulai dari pengetahuan bahwa gedung ini sebenarnya museum kereta api, asal usul nama lawang sewu yang artinya seribu pintu, lokasi bawah tanah untuk orang-orang yang senang adrenalinnya terpacu, spot yang Instagrammable, sampe gaya sesama turis yang mengundang banyak tanda tanya di kepala saya.


Sisi Samping

Hadap depan

Gambar-gambar di kaca di gedung bagian dalam

Miniatur kereta

Difoto dengan sudut sok asyik, dan hasilnya lumayan creepy

Spot Instagrammable

Dari lantai atas. Di lokasi ini, anginnya sepoi-sepoi cihuy

Maksa wefie walau backlight

Kurang-kurangin lah, Mas.
Dekat dengan Lawang Sewu, ada Gereja Katolik yaitu Gereja Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci. Kami pun menyempatkan diri ke sana untuk mohon ampun sebelum (mungkin) kembali nyinyirin orang lagi, seperti kejadian di atas. Pas dateng, agak dilihatin sejuta umat sih, karena gue pake celana pendek. Yaeyalah. Wong, ga ada rencana ke gereja di list kami. Cuma yaudahlah ya, yang penting kan, ibadah.
Kelar ibadah, kami lapaarr... Karena berencana makan malam beneran, akhirnya ngemil 1 bakpao berdua di depan gereja. *ngemil kok bakpao, neng?* Isi campur yaitu berbagai macam daging dan telur, sekitar 20 ribu. Di luar rasa enak karena terangsang lapar, rasanya memang pure enak. Asyek!

Dari sana, kami lanjut jalan-jalan ke area Simpang Lima. Tujuannya apa lagi, kalau bukan... makan, yok!

Menemukan taman unyu bernama Taman Pandanaran. Lumayan lha, banyak yang pacaran murah di sana. cieee

Kami pun mencari makan malam. Ocha pesan Nasi Gandul yaitu nasi dengan daging sapi dan disiram kuah semur, sedangkan saya pesan Tahu Gimbal. Kami kira macem tahu gejrot, ya. Bisa dijadikan snack di kala perut sudah setengah terisi tapi lidah masih gatel. Ternyata pas makanannya dateng, kami pun tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan dalam hati dan ucapan, karena porsinya gede. Isinya telur dadar, lontong, tahu goreng, lupa ada toge atau ga, kerupuk, lalu disiram saus kacang. Makannya sampe minta ampun! Ibaratnya, abis makan nasi padang, trus disediakan cemilan berupa nasi tumpeng.
Nasi Gandul

Penampakan Tahu Gimbal, sang 'cemilan'
Tips saat cari makan di Simpang Lima:
Meski area ini dikenal dengan makanan yang murah meriah, lebih baik tahan dulu lapar dan kalapmu dan cek harga-harga dulu dengan kios-kios sekitar. Untungnya, kami agak berjalan menelusuri sebagian besar area Simpang Lima ini. (Maapkan aku lupa agak lupa direction-nya). Area yang kiosnya banyak kelap-kelip lampu, ini area yang menyajikan makanan dengan harga di atas ekspektasi. Sebaliknya, di simpang satu lagi yang tidak bergemerlapan lampu, makanannya murce alias murah. Inilah tempat kami membeli tahu gimbal.

Selama di Simpang Lima ini, kami juga sempat mencoba makanan yang sangat direkomendasikan yaitu Soto Kudus Mbak Lin. Lokasinya di bagian simpangan yang ada Rumah Sakit Semarang Medical Center Telogorejo. Nggak jauh dari sono, kok. Di deretan seberangnya. Seperti tebakan pemirsa, murah. Sekitar Rp.7-9rb per mangkoknya. Rasanya enak dan mantap!
Soto Kudus Mba Lin

Satu hal yang menarik perhatian saya. Ternyata orang-orang di Jawa itu ketika makan soto, nasinya dicampur ke dalam mangkok sotonya. Bukan dipisah seperti kebiasaan saya dan orang-orang Jakarta. Jadi ketika sotonya dateng, gue malah celingak celinguk nyari nasinya. Ada woy! Noh di depan mata.

Capek berjalan, kami pun naik Go-Jek buat pulang dan bobok! Lelah hayatiii...

Sebagian Foto: Fransiska Soraya (Ocha)

Baca lanjutannya di Jangan Diet di Semarang! (Part 2) yaa...

No comments:

Post a Comment